KabarIndonesia
- Pada zaman dahulu kala, di suatu wilayah di Jawa Tengah, ada sebuah
desa yang dihuni oleh orang-orang yang rajin dan tekun. Mereka hidup
dengan rukun dan saling membantu. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan,
semua senang bergotong royong dalam melakukan tugas bersama.. Seperti
pada suatu pagi, ada seorang penduduk yang memiliki hajat pesta
syukuran. Tetangga-tetangga pun banyak datang berdatangan. Para lelaki
menyumbangkan tenaga dengan membangun tenda tratag, mempersiapkan
hiburan gamelan, dan sebagainya. Sedangkan kaum perempuannya pun dengan
senang hati berkumpul untuk membantu mempersiapkan memasak. Mereka
merencanakan untuk menyediakan makan yang lezat dan enak. Untuk itu,
diperlukan berbagai macam peralatan memasak, seperti pisau, panci, dan
banyak lagi. Maka para perempuan pun membawa pisau masing-masing dari
rumah.
Ada seorang ibu yang sedang mengandung, yang ingin ikut
membantu dalam kegiatan memasak bersama itu. Dia pun bermaksud membawa
sebuah pisau dari rumahnya. Tetapi sayangnya dia tidak dapat menemukan
sebuah pisau pun di dapurnrya. Maka diputuskannya untuk meminjam pisau
dari suaminya. Dia bergegas menemui suaminya, meminta izin untuk
meminjam pisau.
"Pak, bolehkan aku meminjam pisaumu?" tanya si istri lembut.
"Pisauku?
Untuk apa, Bu?" suaminya ganti bertanya heran. "Bukankah di dapur
Engkau memiliki beberapa pisau, mengapa Engkau meminjam pisauku?"
sambungnya. "Aku memang memiliki beberapa pisau. Tetapi entah mengapa
aku tidak bisa menemukannya barang satu pun. Aku memerlukannya untuk
membantu tetangga kita, untuk memasak bersama. Boleh, ya, Pak?" kata si
istri.Suaminya berpikir sejenak, menghela nafas, kemudian akhirnya
berkata, "Baiklah. Engkau boleh meminjam pisauku. Tetapi ingat, Bu,
jangan sekali-kali Engkau menyelipkannya di dadamu. Berbahaya. Apalagi
mengingat Engkau sedang mengandung anak kita. Daripada terjadi hal-hal
yang tidak kita inginkan, jagalah selalu pisauku ini."
Si istri
mengangguk menurut. "Baik, Pak, terima kasih. Pisau ini akan kujaga,
tidak akan hilang." katanya. "Kalau begitu aku berangkat dulu ke rumah
tetangga, ya, Pak."
"Baik, Bu, berhati-hatilah. Sekali lagi,
jangan Kausimpan pisau itu dengan cara menyelipkannya di dadamu." Si
istri kembali mengangguk dan beranjak pergi menuju ke rumah tetangganya.
Maka perempuan itu pun mulai memasak bersama dengan perempuan-perempuan
lain. Pada waktu memasak, semuanya sibuk, dan tak ada tempat untuk
menyimpan pisau. Tanpa disadari, perempuan tadi menyimpan pisau suaminya
di dadanya. Rupa-rupanya dia melupakan nasihat suaminya tadi. Dan
karena dirasa semuanya baik-baik saja, dan ketika kegiatan memasak sudah
selesai, dia pun pulang ke rumahnya.
Beberapa bulan berlalu,
tibalah waktunya bagi perempuan itu untuk melahirkan. Alangkah
terkejutnya dia, ketika mendapati anaknya berwujud seekor ular! Bukan
seorok bayi, melainkan binatang melata yang begitu panjang. Kedua orang
tuanya segera memahami, bahwa ini adalah akibat perbuatan si istri yang
menyelipkan pisau di dadanya sewaktu mengandung. Maka segera setelah
kelahiran anaknya itu, mereka berdoa meminta petunjuk kepada Yang Kuasa,
apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Yang Kuasa pun memberi
jawaban atas pertanyaan mereka, "Pisau itu bukan pisau biasa, dan anakmu
pun bukan ular biasa. Dia adalah Baruklinting, salah satu utusanku.
Bawalah dia ke bukit di desa, dan biarlah dia bertapa dengan cara
mengelilingi bukit itu dengan tubuhnya. Seluruh tubuhnya haruslah dapat
mengelilingi bukit itu."
Maka berangkatlah Baruklinting ke bukit
desa, dan mengelilingi bukit itu untuk bertapa. Walaupun bukit itu tidak
begitu besar, dan tubuh Baruklinting pun cukup panjang, akan tetapi
seluruh panjang tubuhnya belum mencukupi untuk mengelilingi bukit
tersebut. Ujung kepalanya belum dapat bertemu dengan ujung ekornya,
hanya kurang beberapa sentimeter. Tetapi Baruklinting bertekad untuk
mematuhi perintah Yang Kuasa. Maka dia pun menjulurkan lidahnya, dan
dengan demikian seluruh bukit itu dapat dijangkaunya.
Hari demi
hari berlalu, bulan demi bulan pun berganti. Baruklinting bertapa selama
bertahun-tahun lamanya. Kedua orang tuanya sudah meninggal, dan
orang-orang yang hidup di desa pun sudah banyak yang berganti. Tanah
tempatnya bertapa, bahkan tubuhnya sendiri, mulai tertutupi rumput.Suatu
saat, penduduk desa itu berniat untuk mengadakan kegiatan bersih desa.
Sebagai ungkapan syukur atas segala rezeki yang diterima, juga
permohonan agar dijauhkan dari marabahaya, penduduk desa akan
membersihkan seluruh pelosok desa. Maka setiap orang pun
bergotong-royong untuk mengikuti kegiatan tersebut. Ada yang menyiangi
rumput, merapikan tanaman, bahkan ada yang membersihkan sungai. Ada juga
beberapa warga yang sampai di kaki bukit untuk membersihkan daerah itu.
Mereka bekerja dengan menggunakan celurit, parang, dan lain-lain.
Siang
itu, saat melepas penat, beberapa penduduk beristirahat sambli
duduk-duduk di kaki bukit. Tanpa disengaja, seseorang menancapkan
parangnya ke tanah. Betapa terkejutnya dia dan penduduk desa lain,
karena mendapati darah keluar dari tanah yang mereka duduki. Mereka pun
segera membersihkan rerumputan yang ada, dan mereka mendapati seekor
ular mengelilingi bukit tersebut.
"Kawan-kawan, marilah kita
sembelih ular ini, dan dagingnya kita buat pesta untuk seluruh desa!"
ajak seorang dari mereka. Semua menyetujui rencana itu. Kaum perempuan
kembali disibukkan dengan kegiatan memasak bersama, sedangkan kaum
laki-laki juga sibuk mempersiapkan keperluan pesta. Mereka bergotong
royong bersama. Maka mereka pun menyembelih ular itu, memotong-motongnya
menjadi bagian kecil-kecil untuk disantap bersama. Daging ular itu
begitu besar, sehingga setiap warga desa dapat menikmati masakan daging
ular tersebut.Dari sekian banyak potongan daging-daging kecil itu, tanpa
disadari, ada sepotong daging yang menjelma menjadi seorang bocah
laki-laki. Dialah Baruklinting, utusan Yang Kuasa, yang belum
menyelesaikan pertapaannya. Dia kurus, dekil, dan penuh kudis di sekujur
tubuhnya, bahkan menebarkan bau yang tidak sedap.
Kehadirannya
begitu mencolok di tengah-tengah pesta desa, di mana orang-orang lain
berdandan rapi dan harum. Mereka makan dan minum sepuasnya, berpesta
bersama. Baruklinting mendekat ke arah penduduk desa, dan menemui
beberapa orang warganya.
"Tuan, nampaknya Tuan sedang berpesta.
Bolehkan saya meminta sedikit makanan?" tanyanya kepada seorang
laki-laki gagah. Lelaki itu mengernyitkan dahinya, lalu menutup
hidungnya karena bau yang tidak sedap dari tubuh Baruklinting. "Siapa
kau?" laki-laki itu balas bertanya."Namaku Baruklinting, Tuan. Saya
melihat ada banyak makanan di sini, dan saya lapar sekali, Tuan.
Kasihanilah saya," katanya memelas.
"Baruklinting? Aku tidak
mengenalmu. Engkau bukan penduduk desa ini. Dengan tubuh dekil, kudisan,
dan bau seperti itu, Engkau tidak pantas makan bersama-sama dengan
kami. Pergilah!" laki-laki itu mengusirnya.
Baruklinting kemudian
mendekat kepada seorang perempuan di sana."Nyonya, bukankah Nyonya yang
memasak semua makanan ini?" tanyanya lemah. Perempuan itu memandang
Baruklinting dengan heran. Dia pun segera menutup hidungnya, tidak tahan
dengan bau tubuh Baruklinting. "Memang betul, kami kaum perempuan yang
memasaknya. Kaum lelaki mendepatkan seekor ular yang besar, cukup untuk
dimakan seluruh penduduk desa ini. Maka kami pun memotong-motong daging
ular itu dan memasaknya" jawabnya. "Bolehkah aku minta sedikit masakan
Nyonya?" tanya Baruklinting. Perempuan itu menggeleng.
"Tidak,
tidak. Pergilah kau, tubuhmu kudisan dan bau. Selera makan penduduk desa
ini akan hilang karenamu. Pergilah!" perempuan itu pun mengusir
Baruklinting pergi.
Untuk ketiga kalinya, Baruklinting mendekat
ke arah penduduk desa. Kali ini dia menuju ke seorang anak laki-laki.
"Kak, bolehkah aku ikut makan bersamamu? Maukah engkau membagi sedikit
makananmu untukku?" tanyanya. Anak laki-laki itu terkejut, dan langsung
pergi tanpa menjawab. Dia merasa takut dan jijik melihat rupa
Baruklinting. Baruklinting merasa sedih, karena penduduk desa itu tidak
mau berbagi, dan hanya menilai seseorang berdasarkan penampilan luar
saja. Semua hanya mementingkan pesta dan senang-senang, tanpa
menghiraukan orang yang kekurangan.
Maka Baruklinting kemudian
mengambil sebatang lidi dan membawanya ke tengah-tengah pesta.
Orang-orang merasa heran atas tingkah lakunya. Baruklinting menancapkan
lidi itu di tanah, kemudian berkata dengan lantang, "Hai kalian semua,
kalian yang gagah dan pemberani, coba lihat ke sini. Aku mengadakan
sayembara bagi kalian : Siapa yang bisa mencabut lidi ini, akan mendapat
hadiah!" kata Baruklinting dengan entengnya. Setiap orang di situ
terperangah. Mencabut sebatang lidi dari tanah, yang ditancapkan oleh
seorang bocah kurus dekil, tentu bukanlah hal yang sulit. Mereka adalah
orang-orang yang sehat dan berbadan tegap. Dan setiap orang menginginkan
hadiah.Maka satu per satu mulai mencoba mencabut lidi kecil itu. Tetapi
anehnya, tidak ada satu orang pun yang mampu melakukannya. Dari anak
kecil, pemuda kekar, ibu rumah tangga, sampai kakek-kakek, semua tidak
mampu mencabut lidi itu. Lidi tersebut seolah-olah memiliki akar kuat
yang menancap di tanah itu.
Ketika setiap orng sudah menyerah,
maka Baruklinting pun maju ke depan dan berkata "Wahai semua penduduk
desa, ketahuilah, aku adalah utusan dari Yang Kuasa yang sedang bertapa
di kaki bukit. Pertapaanku telah kalian ganggu. Kalian memasak dagingku
untuk pesta ini. Dan yang lebih memprihatinkan, kalian tidak mau berbagi
kepada sesama yang kekurangan. Seharusnya kalian malu, karena menilai
anak kudisan tidak layak makan bersama, padahal dia juga ciptaan Tuhan."
Setiap orang merasa sadar dan malu."Maka hari ini Yang Kuasa akan
menghukum kalian."
Baruklinting mecabut lidi tersebut, dan dari
lubang bekas lidi itu memancar air. Air mengalir terus-menerus, bahkan
mulai membanjiri pemukiman penduduk. Mereka pun berlarian menyelamatkan
diri. Tetapi terlambat, air sudah menggenangi seluruh daerah itu,
menjadi sebuah rawa. Dan sejak saat itu, dari kata amba yang berarti luas, dan rawa,
daerah di sekitar itu dikenal dengan nama Ambarawa. Itulah asal mula
nama Kota Ambarawa, yang mengingatkan kita pada legenda Baruklinting dan
nasihatnya untuk tidak membeda-bedakan sesama yang membutuhkan
pertolongan
sumber
0 komentar:
Posting Komentar